Etika dan Pengendalian Diri
Marah, sebagai bagian dari
emosi manusia, sering kali dianggap sebagai hal negatif. Namun, Aristoteles
dalam Nicomachean Ethics menunjukkan bahwa marah bisa menjadi alat yang
baik jika digunakan dengan tepat. Ia menyatakan, “Siapa pun bisa marah. Marah
itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada
waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah
hal mudah.” Konsep ini menegaskan pentingnya kebijaksanaan dalam pengelolaan
emosi. Dalam karya The Art of Living karya Epictetus, filsuf Stoikisme
ini juga berbicara tentang pentingnya memeriksa emosi dan menggunakan akal
untuk mengatur tindakan.
Mengendalikan amarah
berarti memahami penyebabnya dan mempertimbangkan konsekuensinya. Dalam
kehidupan modern, kemampuan ini menjadi bagian penting dari kecerdasan
emosional (Daniel Goleman, Emotional Intelligence). Menggunakan
pendekatan Aristoteles, kita belajar bahwa marah bukan untuk menghancurkan,
tetapi untuk memperbaiki. Misalnya, seorang guru yang menegur siswa dengan
tujuan mendidik melakukannya demi kebaikan bersama, bukan karena luapan emosi
semata.
Psikologi Emosi
Dalam psikologi, marah
dipahami sebagai respons emosional terhadap ancaman atau ketidakadilan. Paul
Ekman, dalam penelitiannya tentang emosi dasar, mengidentifikasi marah sebagai
salah satu emosi universal yang dirasakan manusia. Namun, apa yang membedakan
orang yang bijak dari yang tidak adalah kemampuan untuk mengelola respons
tersebut.
Marah yang tidak terkendali
dapat merusak hubungan, kesehatan, dan keseimbangan hidup. Menurut Lisa Feldman
Barrett dalam bukunya How Emotions Are Made, emosi tidak hanya terjadi
begitu saja; emosi adalah konstruksi dari pengalaman hidup dan konteks sosial.
Oleh karena itu, seseorang dapat belajar untuk memaknai ulang situasi yang
memicu kemarahan dan meresponsnya secara lebih konstruktif.
Pendekatan psikoterapi
seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) juga menawarkan strategi praktis
untuk mengelola marah. Dengan mengenali pola pikir yang tidak sehat, kita dapat
menggantinya dengan cara berpikir yang lebih rasional dan produktif.
Spiritualitas Islam
Islam memberikan panduan
yang jelas tentang pengendalian amarah. Rasulullah Muhammad SAW bersabda,
“Orang yang kuat bukanlah yang menang dalam pergulatan, tetapi orang yang dapat
mengendalikan dirinya ketika marah” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam Al-Qur'an,
Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang lain” (QS Ali Imran: 134).
Marah, jika tidak
terkendali, dapat menjadi alat setan untuk memecah belah. Dalam karya Minhajul
Abidin, Imam Al-Ghazali memberikan nasihat untuk mengatasi marah, yaitu
dengan berwudu, mengubah posisi tubuh (dari berdiri menjadi duduk), atau bahkan
berbaring jika perlu. Langkah-langkah ini tidak hanya membantu menenangkan
fisik, tetapi juga mengalihkan fokus dari amarah yang memuncak.
Referensi lainnya dari Dr.
Aidh al-Qarni dalam La Tahzan menegaskan pentingnya kesabaran sebagai
cara untuk menghindari tindakan yang didorong oleh amarah. Dengan bersabar,
seseorang dapat mencapai kedamaian batin dan hubungan yang harmonis.
Kepemimpinan
Dalam konteks kepemimpinan,
pengendalian amarah adalah tanda kematangan emosional. John C. Maxwell dalam
bukunya Developing the Leader Within You menekankan bahwa seorang
pemimpin harus mampu menjaga ketenangan bahkan dalam situasi penuh tekanan.
Marah yang tak terkendali dapat menghancurkan kredibilitas seorang pemimpin.
Seorang pemimpin yang
bijaksana menggunakan kemarahan sebagai sinyal untuk bertindak, bukan untuk
meledak. Sebagai contoh, Nelson Mandela dikenal sebagai pemimpin yang mampu
mengendalikan emosinya bahkan dalam situasi yang paling sulit. Dalam autobiografinya,
Long Walk to Freedom, ia menekankan pentingnya memaafkan dan membangun
daripada menghancurkan.
Di sisi lain, pengendalian
marah juga terkait dengan kemampuan komunikasi. Simon Sinek dalam Leaders
Eat Last menunjukkan bahwa empati adalah inti dari kepemimpinan yang
efektif. Seorang pemimpin yang dapat menahan marah dan mendengarkan secara
aktif menunjukkan kepedulian terhadap timnya, yang pada akhirnya menciptakan
budaya kerja yang sehat.
Pengembangan Diri
Mengendalikan marah adalah
langkah penting dalam pengembangan diri. Stephen R. Covey dalam The 7 Habits
of Highly Effective People menekankan pentingnya bertindak secara proaktif,
bukan reaktif. Kebiasaan ini melibatkan kesadaran diri untuk memilih respons
yang tepat, termasuk saat menghadapi situasi yang memicu amarah.
Dalam Islam, konsep
pengembangan diri melalui pengendalian emosi juga dikenal sebagai tazkiyah
nafs. Imam Ibn Qayyim dalam Madarij al-Salikin menjelaskan bahwa
pengendalian emosi adalah bagian dari proses penyucian jiwa. Dengan menahan
marah, seseorang tidak hanya mencapai ketenangan hati tetapi juga meningkatkan
derajatnya di mata Allah.
Selain itu, Dale Carnegie
dalam How to Win Friends and Influence People memberikan saran praktis
untuk mengelola hubungan antar manusia. Salah satu caranya adalah dengan tidak
langsung bereaksi ketika marah, tetapi memberikan waktu untuk merenungkan
solusi terbaik.
Dengan menggabungkan kelima
perspektif ini, kita belajar bahwa pengendalian marah bukan hanya tentang
menahan diri, tetapi juga memahami dan menggunakan emosi ini untuk tujuan yang
lebih besar. Baik dalam konteks pribadi maupun sosial, kemampuan ini adalah
tanda kedewasaan dan kebijaksanaan.
Daftar Pustaka
- Aristoteles. Nicomachean
Ethics. Terjemahan oleh W.D. Ross. Oxford: Clarendon Press, 1925.
- Barrett, Lisa Feldman.
How Emotions Are Made: The Secret Life of the Brain. Boston:
Houghton Mifflin Harcourt, 2017.
- Carnegie, Dale. How
to Win Friends and Influence People. New York: Simon & Schuster,
1936.
- Covey, Stephen R. The
7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change.
New York: Free Press, 1989.
- Epictetus. The Art
of Living. Terjemahan oleh Sharon Lebell. New York: HarperOne, 1994.
- Goleman, Daniel. Emotional
Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books,
1995.
- Maxwell, John C. Developing
the Leader Within You. Nashville: Thomas Nelson, 1993.
- Mandela, Nelson. Long
Walk to Freedom: The Autobiography of Nelson Mandela. Boston: Little,
Brown and Company, 1994.
- Sinek, Simon. Leaders
Eat Last: Why Some Teams Pull Together and Others Don’t. New York:
Portfolio Penguin, 2014.
- Al-Ghazali, Imam. Minhajul
Abidin: Jalan Para Ahli Ibadah. Terjemahan oleh Yusuf Qardhawi.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2005.
- Ibn Qayyim
Al-Jawziyyah. Madarij al-Salikin. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993.
- Al-Qarni, Aidh. La
Tahzan: Jangan Bersedih. Terjemahan oleh Kathur Suhardi. Jakarta:
Qisthi Press, 2005.
- Ekman, Paul. Emotions
Revealed: Recognizing Faces and Feelings to Improve Communication and
Emotional Life. New York: Times Books, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar